Berawal di pertengahan bulan juli 1997, tepat dipagar asrama Istiqamah dia menyenderkan kedua lengan tangannya dengan pandangan girang memperhatikan kawan-kawannya yang sedang asyik bermain main bola dilapangan depan asrama, dia tertawa kecil melihat kawannya yang jatuh karena terpeleset saat menendang bola.
sesekali dilahab kue ditangan kanan yang dibawa orang tua ketika mengantarnya kemaren pagi. Tidak ada yang spesial pada dirinya, perkembangan dalam sisi pendidikan sama dengan santri lain. Kehidupannya juga tidak ada yang spesial, bahkan dia tidak memiliki kelebihan yang menonjol. Kehidupan di pesantren tergolong biasa-biasa saja, apa yang dilakukan oleh santri lain dia juga ikut serta.
Awal saya mengenalnya, dalam gedung serbaguna (Al-qa’atul Ijtima’iah). Kala itu seluruh santri di kumpulkan oleh (akhi-akhi) untuk dibagikan perkonsulat daerah asal, dalam kegiatan PBB (Pelatihan Baris Berbaris) untuk menghadapi pawai perkenalan (ta’aruf) bulan juni.
Saya satu konsulat dengannya, kala itu jumlah kami sekitar 10 sampai 15 orang yang berasal dari kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, kami disatukan bertujuan agar kami kenal dan menyapa satu dengan yang lain. Walaupun demikian, saya dan dia tidak juga akrab, kami tidak saling menyapa, hanya sebatas ketawa bersama kalau ada hal-hal lucu ketika PBB berlangsung.
Enam tahun kami bersama dipesantren, tidak membuat kami akrab. Kebersamaan kami hanya sebatas kegiatan-kegiatan dalam satu (marhalah). Seperti Drama Arena, Panggung Gembira, (Amaliatul Tadris), (Munadhamah), Drama (masrahi), (muhadasah), dan lain-lain.
Bahkan kehidupan sosial kepesantrenan kami sangat berlawanan, dia adalah seorang pecinta buku, setiap malam dia menyulangi pelajaran yang telah di ajarkan disekolah. Sedangkan saya seperti alergi terhadap buku sehingga seluruh sedut pesantren saya jelajahi, bahkan hutan-hutan dibelakang pesantren menjadi daerah jelajah saya, sehingga gampong Meunasah Dayah yang berada tepat dibelakang pesantren layaknya desa asal saya, berkawan dengan masyarakat setempat, hingga mandi dan makan di rumah masyarakat.
Ilyas Usman.
Ilyas namanya sedangkan ayahnya adalah Teungku Usman. Santri yang sangat sederhana, tidak banyak bergaya layaknya santri lain yang setiap bulan gonta ganti pakaian baru, dia hanyalah seorang anak petani yang tidak tetap ladangnya.
Dimana setiap ayahnya ingin bercocok tanaman mencari tanah yang tidak terawat oleh pemiliknya untuk dijadikan kebun oleh Al-marhum ayahnya, tempat menanam bayam dan sayuran lainnya. Malam hari ayahnya mengajari anak sekitar untuk mengaji Al Quran, tidak banyak yang bisa dikerjakan oleh orang tuanya ada beberapa ekor kambing yang dia pelihara, sebagai tabungan kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.
Dengan kemurahan hati seorang karyawan PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) Dewantara. Membiayai seorang Ilyas untuk menyenyam pindidikan di Pesantren Modern Misbahul Ulum Paloh, setiap bulannya dia mendapat santunan dari derwaman tersebut, sehingga soal ekonomi selama di pesantren bukanlah masalah bagi orang tuanya yang hanya bekerja sebagai petani.
Dia anak yang rajin, shaleh dan juga baik, dipergunakan setiap detik waktunya dipesantren untuk selalu belajar sehingga hasil akhir penilaian setiap semester selalu mendapatkan nilai yang (Jaid Jiddan). Sehingga hati Dermawan tersebut tergugah, dan membiyai seluruh biaya pendidikannya hingga ke bangku perkuliahan agar anak petani ini tidak putus pendidikan.
Sungguh baik nasib anak petani ini, mendapatkan jaminan biaya pendidikan sehingga sekitar tahun 2009 dia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Maka nikmat Tuhan yang mana kamu dustakan (QS: Ar-Rahman:13). Tidak ada kiranya nikmat Tuhan yang dia dustai, setiap detik waktunya dia pergunakan untuk belajar, setiap saat keadaan dia selalu beribadah. Dia selalu bersyukur dengan pemberian Allah dengan tidak menyiakan waktu.
Pertengahan tahun 2003, kami sama-sama berangkat kekuta Raja Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikan perkuliahan di tahun inilah pertemanan kami mulai akrab. Kala itu Aceh masih berstatus Darurat Militer dimana para aparat keaman berkuasa di aceh,
setiap sudut perkampungan di warnai warna loreng, camp-camp pos tentara dimana-mana, hampir setiap saat terjadi diperiksa identitas diri untuk memastikan bukan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) , dengan wajib memiliki KTP merah putih (tika duk) bahkan kami yang menumpangi Bus BE (Bireun Exspres) menuju kuta raja pun, tak luput dari swiping di pertengahan jalan, tepatnya di Tring Gadeng.
Alhamdulillah kami mempunyai KTP namun salah seorang TNI melarang saya untuk naik ke bus karena diantara kami berempat sayalah bertubuh besar sehingga bapak-bapak berpakaian tempur mencurigai saya, saya pun diintrograsi, apakah saya GAM atau bukan? Sehingga Zul Afrizal (Joel Pasee), Nyak Hafiz, Ilyas Usman tidak mau juga naik bus mununggu saya, karena orang tua kami telah berpesan kalau diantara kalian berempat diberhentikan maka semuanya harus berhenti dan jangan melanjutkan perjalan ke Banda Aceh. Sekitar satu jam kami dan saya diperiksa, lalu kami diizinkan untuk melanjut perjalanan ke Kota Pelajar Darussalam Banda Aceh.
Masa Kuliah
Persahabatarn kamipun bertambah akrab, karena perkuliahan kami dijurusan yang sama yaitu Tarbiah Bahasa Arab (IAIN) UIN Ar – Raniry sekarang. Kami tinggal satu kost di lorong Kulam Guda, dimana pahit senang kami lalui di rumah semi permanen tersebut, setiap hujan selalu masuk air dari selah-selah lantai, di depan rumah kami pun ada payau yang menggenangi jalan setapak menuju rumah berdinding triplek tersebut dikala hujan.
Untuk mareka Mahasiswa yang ekonominya menengah keatas, mungkin tidak akan sanggup tinggal dikost bernomor 3B, karena untuk buang air besar aja harus bangun jam 4 pagi karena WC kami berhadapan dengan teras rumah tetangga dibelakang. Jadi kalau pun ada diantara kami yang kepagian membuang hajat maka akan terjadi perang-perangan dengan tetangga belakang, dari teriakan, cacian, sampai makian selalu mewarnai pagi cerah kami.
Hanya Allah-lah Sang Maha pengatur nasib. Tidak ada yang dapat membolak balik keadaan seorang hamba, melainkan Ia Allah Maha Pemberi nasib baik. Janji Allah selalu ditepati, dimana seorang anak petani yang selalu berjuang gigih dalam memperbaiki ekonomi keluarga.
Dengan selalu mengharab Ridha-Nya tampa ia tinggalkan shalat lima waktu. Allah kabulkan permintaannya, Allah balas segala jerih payah orang tua, Allah bayar seluruh isak tangis doa almarhum ayahnya, Allah ganti keringat dan banting tulang orang tuanya dengan rizki dari Allah yang melimpah.
Tak perlu lagi ia makan nasi dengan ikan yang harus dibelah untuk siang dan malam, nasi goreng bukanlah makanan teristimewa bagi dia sekarang yang dulunya, harus menunggu biasiswa setahun sekali baru bisa makan nasi goreng wak jon disimpang galon darussalam. Allah Merahmatimu kawan, kuucapkan selamat tinggal derita bagimu syukurilah nikmat Allah agar Allah tambahkan lagi bagimu…
Wallahu’alam
Penulis : Saiful Zahari, S.Pd (Pengajar di Pondok Pesantren Modern Misbahul Ulum Paloh)